Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa penggunaan uang kripto atau cryptocurrency haram. Uang kripto haram untuk bertransaksi sebagai mata uang. MUI memutuskan fatwa haram uang kripto tersebut dalam sebuah Forum Ijtima Ulama se Indonesia ke VII, di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (11/11).
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh menjelaskan, alasan kripto haram sebagai mata uang karena mengandung gharar, dharar. ”Pula bertentangan dengan Undang Undang Nomor 7 tahun 2011 serta Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015,” ujar Asrorun Ni’am Sholeh. MUI juga menyatakan uang kripto sebagai komoditi atau aset digital tidak sah diperjualbelikan, karena mengandung gharar, dharar, qimar.
Selain itu, menurut Asrorun hal tersebut juga tidak memenuhi syarat sil'ah secara syar'i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli. Namun, 6 bulan sebelum fatwa MUI, ada pernyataan yang sedikit berbeda. Forum bahtsul masail yang digelar oleh Islamic Law Firm dan Wahid Foundation pada Sabtu (19/6/2021) di Hotel Borobudur, Jakarta, memutuskan kripto halal atau haram, semuanya bersyarat.
Yenny Wahid selaku inisiator bahtsul masail menyebut, kripto dinilai halal oleh sebagian pihak karena terbebas dari riba dibanding dengan uang fiat dan bank konvensional. "Hal ini didukung transaksi blockchain yang merujuk pada transaksi langsung peer to peer tanpa perantara," kata Yenny. Selain itu, menurut dia, kripto halal selama tidak dilarang oleh negara.
Namun demikian, Yenny tidak menampik pendapat kripto haram karena memiliki unsur ketidakpastian yang tinggi. Harganya bisa berubah sangat cepat tanpa sentimen yang jelas. "Kripto dianggap haram oleh sebagian pengamat karena tingkat volatilitas mata uang kripto yang amat tinggi hingga dekat dengan judi sehingga tidak bisa diperdagangkan karena tidak ada underlying asset (objek dasar transaksi sukuk)," katanya.
Menurut Yenny, dalam konteks Indonesia kripto itu mal atau sesuatu yang bernilai harta kekayaan. Dengan begitu, kalau rusak atau dicuri maka harus ada ganti ruginya. ”Oleh sebab itu boleh diperdagangkan, halal sebagai komoditi (sil’ah) dan bukan sebagai mata uang (cryptocurrency) tapi cyptoasset,” tegasnya.